KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala
puji bagi Allah yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan
penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup
menyelesaikan dengan baik.
Makalah
ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari
diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah
ini memuat tentang Perbedaan Ekonomi Islam dengan Ekonomi Kontemporer yang
sengaja penulis pilih karena menarik perhatian penulis untuk dicermati dan
perlu mendapat dukungan dari semua pihak.
Penyusun
juga mengucapkan terima kasih kepada guru / dosen pembimbing yang telah banyak
membantu penyusun agar dapat menyelesaikan makalah ini.
Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun
makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan
kritiknya. Terima kasih.
wssalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ……………………………………… i
DAFTAR ISI ……………………………………… ii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah ……………………………………… 1
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ekonomi Islam ……………………………………… 2
B.
Dasar Ekonomi Islam …………………………………… 2
C.
Ekonomi Islam Kontemporer ……………………………………… 3
BAB
III PENUTUP
A.
SIMPULAN ……………………………………… 8
B.
SARAN ………………………………………. 8
DAFTAR PUSTAKA ......................................................... 9
BAB I
PENDAHULUAN
M.A. Manan (1992:19) di dalam
bukunya yang berjudul “Teori dan Praktik Ekonomi Islam” menyatakan bahwa ekonoi
islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah ekonomi rakyat
yang di ilhami oleh nilai-nilai islam. Sementara itu, H. Halide berpendapat
bahwa yang di maksud dengan ekonomi islam ialah kumpulan dasar-dasar umum
ekonomi yang dii simpulkan dari Al-Qur’an dan sunnah yang ada hubungannya
dengan urusan ekonomi (dalam Daud Ali, 1988:3).
Sistem ekonomi islam adalah
sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang di simpulkan dari Al-Qur’an dan
sunnah, dan merupakan bangunan perekonomian yang di dirikan atas landasan
dasar-dasar tersebut yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan masa.
BAB II
PEMBAHASAN
Ekonomi islam mempunyai
pedoman/acuan dalam kegiatan ekonomi yang bersumber dari wahyu ilahi maupun
pemikiran para mujtahid sedangkan ekonomi konvensional didasarkan kepada
pemikir yang didasarkan kepada paradigma pribadi mereka masing-masing sesuai
dengan keinginannya, dalam ekonomi konvensional menilai bahwa agama termasuk
hukum syariah tidak ada hubungannya dengan kegiatan ekonomi.
A. Pengertian Ekonomi Islam
Mursyid Al-Idrisiyyah mendefinisikan
ekonomi islam dengan menggunakan kalimat-kalimat sederhana, yaitu seluruh
bentuk kegiatan ekonomi yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam yang bersumber
kepada Al Quran dan As Sunah yang diijtihadi oleh mursyid. Kedudukan
mursyid memiliki perananan yang cukup urgen termasuk dalam memberikan curah
pemikiran mengenai konteks ekonomi islam, sesuai dengan tuntutan dan
perkembangan zaman juga mampu mensosialisasikan dan memobilisasi umat untuk
berekonomi Islami dengan uswah (teladan) dan kharismanya.
B. Dasar Ekonomi Islam
Seluruh bentuk kegiatan ekonomi
harus dibangun diatas tiga pondasi, pertama nilai-nilai keimanan (tauhid)
kedua, nilai-nilai islam (syariah) ketiga nilai-nilai ihsan (etika).
1. Pondasi nilai-nilai
keimanan
Fungsi dan wilayah keimanan dalam
islam adalah pembenahan dan pembinaan hati atau jiwa manusia. Dengan
nilai-nilai keimanan jiwa manusia dibentuk menjadi jiwa yang memiliki sandaran
vertikal yang kokoh kepada Sang Khalik untuk tunduk kepada aturan main-Nya
dengan penuh kesadaran dan kerelaan. Pada kondisi demikian, jiwa manusia akan
mampu mempertahankan serta menggali fitrah yang diamanahkan pada dirinya
dan menempatkan dirinya sebagai hamba Allah.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan
Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuui. QS. Ar Ruum [30]: 30
Pertama; memiliki niat yang lurus dan visi
misi yang besar
Dengan nilai keimanan, apapun bentuk
ekonomi yang dilakukan akan dipandang sebagai bentuk kegiatan ibadah,
artinya aktivitas yang diperintahkan dan diridhoi oleh Allah SWT. Pelaku
ekonomi akan menempatkan dirinya sebagai ‘abid (hamba) dihadapan Allah,
sebagaimana diinformasikan dalam Al Quran bahwa setiap manusia pada awal
kejadiannya dibangun sebagai ‘abid Sang Khalik.
Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Q S Adz – Dzariyaat, [51]: 56
Niat yang lurus dan kuat yang disandarkan
kepada Allah SWT dalam bekerja, akan menjadi motivasi dan ruh kekuatan dalam
setiap bentuk tindakan dan pengambilan keputusan. Setiap permasalahan tidak
akan disikapi dengan emosional, akan tetapi disikapi secara rasional dan
diputuskan secara spiritual.
Kedua; proses kegiatan usaha yang terukur
dan terarah
Nilai-nilai keimanan yang bersemayam
dalam setiap pribadi, akan berdampak positif dalam setiap ruang gerak pemikiran
dan aktivitas. kegiatan usaha bukan semata-mata diarahkan kepada hasil (profit
oriented), akan tetapi lebih memperhatikan cara atau proses. Ia akan
berusaha menitik beratkan seluruh proses usaha sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Allah yang dicontohkan oleh rasul-Nya. Sebagaimana yang
termaktub dalam Q.S al-Hasyr, [59]: 7
Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.
Ketiga, dalam menilai hasil usaha
menggunakan dua sudut pandang yaitu syari’at (dunia) dan hakikat
(ukhrawi)
Bagi pelaku ekonomi yang menggunakan
dua sudut pandang dalam menilai hasil sangat penting, karena dalam dunia usaha
untung dan rugi-dalam kaca mata materi pasti terjadi, sehingga ketika hasil
usaha dianggap rugi sekalipun ia masih punya harapan besar dan panjang karena
masih ada keuntungan yang bersifat ukhrawi, sebagaimana diisyaratkan oleh Allah
SWT dalam Q.S Faathiir, [35]: 29
Sesungguhnya orang-orang yang selalu
membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki
yang Kami anuge- rahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan,
mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi,
2. Pondasi Syariah
Fungsi syariah dalam agama untuk
mengatur dan memelihara asfek-asfek lahiriyah umat manusia khusunya, baik yang
berkaitan dengan individu, sosial dan lingkungan alam, sehingga terwujud
keselarasan dan keharmonisan. Bagian kehidupan manusia yang diatur oleh syariat
adalah asfek ekonomi. Al-quran dan as-sunah sebagai sumber dalam ajaran islam banyak
memuat prinsif-prinsif mendasar dalam melakukan tindakan ekonomi baik secara
eksplisit maupun inplisit.
Diantara prinsif itu adalah sebagai
berikut;
1) Ta'awun (saling membantu)
Manusia adalah makhluk social, dalam
segala aktivitasnya tidak bisa menapikan orang lain termasul dalam berbagai
bentuk kegiatan ekonomi. Dalam pandangan islam kegiatan ekonomi termasuk bagian
al-bar (kebaikan) dan ibadah, sehingga dalam pelaksanaannya diperintahkan untuk
bertaawun (saling menolong). Sebagaimana firman Allah SWT Q S Al-Maidah [5]: 2
dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah
Amat berat siksa-Nya.
Ketika taawun dijadikan landasan
dalam berekonomi pelaku bisnis akan terhindar dari sikap – sikap yang merugikan
orang lain termasuk sikap monopoli. Seorang produsen ia akan menjaga kualitas
produksinya untuk membantu orang lain yang tidak mampu berproduksi, seorang
pedagang punya tujuan membantu pembeli yang membutuhkan barang tertentu.
Sehingga penjual tadi akan memberikan hak-hak bagi pembeli, penjual jasa
bertujuan membantu orang yang membutuhkan jasanya, sehingga ia akan
meningkatkan pelayanannya dan sebagainya.
2) Keadilan
Adil dalam pandangan islam tidak
diartikan sama rata, akan tetapi pengertiannya adalah menempatkan sesuatu
sesuai dengan proporsinya atau hak-haknya. Sikap adil sangat diperlukan
dalam setiap tindakan termasuk dalam tindakan berekonomi. dengan sikap adil
setiap orang yang terlibat dalam kegiatan ekonomi akan memberikan dan
mendapatkan hak-haknya dengan benar. Dalam menentukan honor, harga,
porsentase, ukuran, timbangan dan kerugian akan tepat dan terhindar dari sifat dzulmun
(aniaya). Al-Quran memerintahkan setiap tindakan harus didasari dengan
sikap adil, karena bentuk keadilan akan mendekatkan kepada ketaqwaan
sebagaimana firman Allah SWT dalam Q S. al-Maidah, [5]: 8
Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
3) Logis dan rasional
tidak emosional
Islam adalah ajaran rasional dan
senantiasa mengajak kepada umat manusia untuk memberdayakan potensi akal dalam
mempelajari ayat-ayat Allah, baik ayat quraniyah maupun kauniyah. Dalam konteks
ushul fikh syariat diturunkan oleh al-Hakim hanya bagi makhluk yang berakal.
Dalam beberapa ayat sering disindir orang yang tidak memproduktifkan akal
sehatnya, termasuk dalam tindakan ekonomi, setiap kegiatan ekonomi harus
bersipat logis dan rasional tidak berdasarkan emosinal semata. sebagai contoh,
ketika ingin membangun lembaga keuangan islam di sebuah daerah jangan dilihat
hanya penduduknya yang mayoritas muslim akan tetapi harus diperhatikan
bagaimana kegiatan usaha, apa saja transaksi-transaksi yang terjadi, dan
bagaimana mekanisme pasar yang ada.
4) Professional
Seorang muslim diperintahkan oleh
Allah untuk bertindak dan berprilaku sebagaimana berprilakunya Allah,
sebagaimana Rasulullah menyeru kepada umatnya, “berakhlaklah kalian
sebagaimana akhlak Alah”. Ada beberapa tindakan Allah yang perlu dicontoh,
seperti, memanagemen jagat raya dengan planning yang tepat, ketelitian dan
perhitungan yang akurat.
Bagi muslim dalam berekonomi tentu
harus punya managemen yang kokoh, planning yang terarah, tindakan dan
perhitungan ekonomi yang cermat dan akurat yang semua itu menjadi indicator
pada propesionalime ekonomi
3. Pondasi Ihsan Etika Islam
Fungsi ihsan dalam agama sebagai
alat control dan evaluasi terhadap bentuk-bentuk kegiatan ibadah, sehingga
aktivitas manusia akan lebih terarah dan maju. Fungsi tersebut selaras dengan
definisinya sendiri yaitu, ketika engkau beribadah kepada Allah seolah-olah
engkau melihat-Nya, apabila engkau tidak mampu melihat-Nya maka sesungguhnya
Allah melihat (mengontrol) engkau. Ketika tindakan ekonomi didasari dengan
ihsan maka akan melahirkan sifat-sifat positif dan produktif sebagai berikut;
1. Amanah (jujur)
Amanah dalam bahasa arab berdekatan
dengan makna iman (percaya) dan berasal dari akar kata yang sama yaitu aman.
Sifat ini muncul dari penghayatan ihsan. Bagi pelaku ekonomi yang
memiliki sifat amanah akan mengakui dengan penuh kesadaran bahwa seluruh
komponen ekonomi; pikiran, tenaga, harta, dan segalanya adalah milik dan
titipan Allah, sehingga dalam menjalani aktivitas usaha akan berhati-hati dan
waspada serta terhindar dari sipat ceroboh dan sombong karena pemilik
perusahaan itu adalah Allah SWT.
2. Sabar
Sabar diartikan sebagai sikap
tangguh dalam menghadapi seluruh persoalan kehidupan termasuk dalam berekonomi.
Sifat ini muncul dari proses panjang aktivitas ibadah yang senantiasa diawasi
dan dievaluasi oleh Allah. Dalam seluruh proses tindakan usaha tidak akan lepas
dari kendala dan problem, maka kesabaran mutlak dibutuhkan. Dengan sifat ini
sebesar apapun problem usaha akan disikapi dengan pikiran-pikiran positif dan
hati yang jernih.
Adapun efek positif dari sifat
sabar, antara lain:
Pertama, segala kendala usaha dinilai
sebagai pembelajaran untuk meningkatkan etos kerja
Kedua, akan siap menghadapi
berbagai bentuk kendala usaha dan tidak menghindarinya.
Ketiga, akan mampu mengklasifikasi kendala
dan menempatkannya sehingga akan mendapatkan solusi yang tepat.
3. Tawakal
Tawakal berasal dari bahasa arab
yang akar katanya berasal dari <span>wakala</span> yang
mengandung arti wakil. Maka tawakal diartikan sikap mewakilkan atau
menyerahkan penuh segala hasil usaha kepada Allah SWT.
Sikap tersebut muncul dari
nilai-nilai ihsan. Islam tidak melarang pelaku bisnis mendapatkan keuntungan
dalam usahanya. Akan tetapi hasil usaha yang dilakukan oleh seseorang masih
bersifat relative, bisa untung atau rugi. Bagi pelaku usaha yang menyerahkan
segala hasil kepada Allah tidak punya beban mental yang berlebihan dan ketika
hasilnya untung tidak akan lupa diri dan apaila rugi tidak akan pesimis dan
putus asa.
Maka bersabarlah kamu dengan sabar
yang baik. Q.S al –
Ma’arij [70]: 5
4. Qanaah
Qanaah dalam berekonomi diartikan
sebagai sikap efesiensi dan sederhana dalam tindakan usaha. Sikap ini
terbentuk dari interaksi yang kuat antara hamba dengan sang khalik. Efisiensi
dalam seluruh tindakan ekonomi sangat penting untuk mengurangi dan menekan
beban pembiyayaan usaha, sehingga kalau Usaha yang dilakukan itu bidang
produksi maka akan menghasilkan prodak yang murah. Demikian pula sikap qanaah
terhadap hasil berupa keuntungan ia akan membelanjakan harta yang dimilikinya
sesuai dengan kebutuhan pokok terhindar dari sikap boros dan mubadzir.
Dan berikanlah kepada
keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang
dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros. Q.S al –
Israa’ [17]: 26
5. Wara
Wara dalam berekonomi diartikan sikap
berhati-hati dalam seluruh tindakan ekonomi. Sikap ini tumbuh dari
kesadaran penuh terhadap pengawasan Allah yang sangat ketat dan teliti.
Kehati-hatian sangat dibutuhkan oleh para pelaku usaha, mulai dari membuat
planning, operasional dan mengontrol usaha dan akan menjauhkan pelaku bisnis
dari sikap ceroboh.
Ketiga prinsip dasar ekonomi ini
tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya; akan tetapi harus terintegrasi pada
setiap diri pelaku ekonomi. Ketika hal ini terwujud maka akan tercipta
pelaku bisnis profesianal yang shaleh dan tatanan ekonomi yang mapan,
sehat, kondusif dan produktif.
C.
Ekonomi Islam Kontemporer
Pemikiran ekonomi Islam kontemporer
ini merupakan buah pikiran dari para ekonom Muslim pada abad ke-20 Masehi. Jika
dalam pemikiran ekonomi Islam klasik dibagi menjadi 3 fase, maka pemikiran
ekonomi Islam kontemporer ini dibagi menjadi 3 aliran, yaitu aliran Iqtishādunā,
aliran Mainstream, dan aliran Alternatif. Masing-masing dari ketiga
aliran ini memiliki corak pemikiran yang berbeda-beda.
1. Aliran Iqtishādunā
Corak utama dari aliran ini adalah
pemikirannya tentang masalah ekonomi yang muncul karena adanya distribusi yang
tidak merata dan tidak adil sebagai akibat dari sistem ekonomi yang membolehkan
eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki akses
terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat kaya. Sementara yang lemah tidak
memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu,
masalah ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang tidak terbatas, tetapi
karena keserakahan manusia yang tidak terbatas.
Aliran ini menolak pernyataan yang
menyatakan bahwa masalah ekonomi disebabkan oleh adanya keinginan manusia yang
tak terbatas sementara sumber daya alam yang tersedia jumlahnya terbatas.
Karena hal tersebut bertentangan dengan firman Allah: “Sesungguhnya Kami
menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Q.S. al-Qamar: 49).
Aliran ini dipelopori oleh Baqir
Sadr. Nama aliran ini pun diambil dari nama karyanya Iqtishādunā.
Menurutnya, ekonomi Islam adalah cara atau jalan yang dipilih oleh Islam untuk
dijalani dalam rangka mencapai kehidupan ekonominya dan dalam memecahkan
masalah ekonomi praktis sejalan dengan konsepnya tentang keadilan. Baginya,
Islam tidak mengurusi hukum permintaan dan penawaran … (tidak pula) hubungan
antara laba dan bunga bank … (tidak pula) fenomena diminishing returns
di dalam produksi, yang baginya merupakan ”ilmu ekonomi”. Jadi menurutnya,
ekonomi Islam adalah doktrin karena ia membicarakan semua aturan dasar
dalam kehidupan ekonomi dihubungkan dengan ideologinya mengenai keadilan
sosial. Sebagai doktrin, sistem ekonomi Islam juga berhubungan dengan
pertanyaan ”apa yang seharusnya” berdasarkan kepercayaan, hukum, konsep dan
definisi yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadits. Di dalam doktrin ekonomi Sadr,
keadilan menempati posisi sentral, sehingga menjadi tolak ukur untuk menilai
teori, kegiatan dan output ekonomi.
2. Aliran Mainstream
Corak utama dari pemikiran aliran
ini adalah kebalikan dari aliran Iqtishādunā dalam memandang masalah
ekonomi. Menurut aliran ini, masalah ekonomi timbul memang dikarenakan
kelangkaan (scarcity) Sumber Daya Alam sementara keinginan manusia tidak
terbatas. Untuk itu, manusia diarahkan untuk melakukan prioritas dalam memenuhi
segala kebutuhannya. Dan keputusan dalam menentukan skala prioritas tersebut
tidak dapat dilakukan semaunya sendiri karena dalam Islam sudah ada rujukannya
sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Aliran ini ditokohi oleh 4 tokoh
utama, yaitu Muhammad Abdul Mannan, Muhammad Nejatullah Siddiqi, Syed Nawab
Haidar Naqvi, dan Monzer Kahf.
a. Muhammad Abdul Mannan.
Pemikiran ekonominya dituangkan
dalam karya-karyanya; Islamic Economics: Theory and Practice (1970) dan The
Making of Islamic Economic Society (1984). Ia mendefinisikan ekonomi Islam
sebagai “ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi
rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.” Ketika ekonomi Islam
dihadapkan pada masalah ”kelangkaan”, maka bagi Mannan, sama saja artinya
dengan kelangkaan dalam ekonomi Barat. Bedanya adalah pilihan individu terhadap
alternatif penggunaan sumber daya, yang dipengaruhi oleh keyakinan terhadap
nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, menurut Mannan, yang membedakan sistem
ekonomi Islam dari sistem sosio-ekonomi lain adalah sifat motivasional yang
mempengaruhi pola, struktur, arah dan komposisi produksi, distribusi dan
konsumsi. Dengan demikian, tugas utama ekonomi Islam adalah menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi asal-usul permintaan dan penawaran sehingga
dimungkinkan untuk mengubah keduanya ke arah distribusi yang lebih adil.
b. Muhammad Nejatullah Siddiqi.
Pemikiran ekonominya dituangkan
dalam karya-karyanya; The Economic Enterprise in Islam (1971) dan Some
Aspects of The Islamic Economy (1978). Ia mendefinisikan ekonomi Islam
sebagai “respon para pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi yang dihadapi
pada zaman mereka masing-masing. Dalam usaha ini, mereka dibantu oleh Qur’an
dan Sunnah, baik sebagai dalil dan petunjuk maupun sebagai eksprimen.”
Siddiqi menolak determinisme ekonomi Marx. Baginya, ekonomi Islam itu modern,
memanfaatkan teknik produksi terbaik dan metode organisasi yang ada. Sifat
Islamnya terletak pada basis hubungan antarmanusia, di samping pada sikap dan
kebijakan-kebijakan sosial yang membentuk sistem tersebut.
Ciri utama yang membedakan perekonomian Islam
dan sistem-sistem ekonomi modern yang lain, menurutnya, adalah bahwa di dalam
suatu kerangka Islam, kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi merupakan sarana
untuk mencapai tujuan spritual dan moral. Oleh karena itu, ia mengusulkan
modifikasi teori ekonomi Neo-Klasik konvensional dan peralatannya untuk
mewujudkan perubahan dalam orientasi nilai, penataan kelembagaan dan tujuan
yang dicapai.
c. Syed Nawab Haidar Naqvi.
Pemikiran ekonominya dituangkan
dalam karyanya; Ethics and Economics: An Islamic Synthesis (1981). Ia
mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “perilaku muslim sebagai perwakilan
dari ciri khas masyarakat muslim.” Ada 3 tema besar yang mendominasi
pemikiran Naqvi dalam ekonomi Islam. Pertama, kegiatan ekonomi dilihat
sebagai suatu subjek dari upaya manusia yang lebih luas untuk mewujudkan
masyarakat yang adil berdasarkan pada prinsip etika ilahiyyah, yakni keadilan (Al-’Adl)
dan kebajikan (Al-Ihsān). Menurutnya, hal itu berarti bahwa etika harus
secara eksplisit mendominasi ekonomi dalam ekonomi Islam, dan faktor etika
inilah yang membedakan sistem ekonomi Islam dari sistem ekonomi lainnya.
Kedua, melalui prinsip Al-’Adl wa Al-
Ihsān, ekonomi Islam memerlukan suatu bias yang melekat dalam
kebijakan-kebijakan yang memihak kaum miskin dan lemah secara ekonomis. Bias
tersebut mencerminkan penekanan Islam terhadap keadilan, yang ia terjemahkan
sebagai egalitarianisme. Ini adalah suatu butir penting yang sering kali ia
tekankan dalam tulisannya. Dan ketiga adalah diperlukannya suatu peran
utama negara dalam kegiatan ekonomi. Negara tidak hanya berperan sebagai
regulator kekuatan-kekuatan pasar dan penyedia (supplier) kebutuhan
dasar, tetapi juga sebagai partisipan aktif dalam produksi dan distribusi, baik
di pasar barang maupun faktor produksi, demikian pula negara berperan sebagai
pengontrol sistem perbankan. Ia melihat negara Islam sebagai perwujudan atau
penjelmaan amanah Allah tatkala ia meletakkan negara sebagai penyedia, penopang
dan pendorong kegiatan ekonomi.
d. Monzer Kahf.
Pemikiran ekonominya dituangkan
dalam karyanya; The Islamic Economy: Analytical of The Functioning of The
Islamic Economic System (1978). Ia tidak mengusulkan suatu definisi
”formal” bagi ekonomi Islam, tetapi karena ilmu ekonomi berhubungan dengan
perilaku manusia dalam hal produksi, distribusi dan konsumsi, maka ekonomi
Islam, menurutnya, dapat dilihat sebagai sebuah cabang dari ilmu ekonomi yang
dipelajari dengan berdasarkan paradigma (yakni aksioma, sistem nilai dan etika)
Islam, sama dengan studi ekonomi Kapitalisme dan ekonomi Sosialisme. Dengan
pandangannya ini, ia mencela kelompok-kelompok ekonom Islam tertentu. Ia
menengarai suatu kelompok yang mencoba untuk menekankan dengan terlalu keras
perbedaan antara ekonomi Islam dan Barat. Kelompok itu tidak memahami bahwa
perbedaan antara keduanya sebenarnya terletak pada filosofi dan prinsipnya,
bukan pada metode yang digunakan. Di pihak lain, terdapat juga kelompok lain
yang secara implisit menerima asumsi-asumsi ekonomi Barat yang sarat nilai.
Kelompok lain yang ia tegur adalah mereka yang mecoba menyamakan antara ekonomi
Islam dan Fiqih Mu’amalat. Kelompok ini, menurutnya, telah menyempitkan ekonomi
Islam sehingga hanya berisi sekumpulan perintah dan larangan saja, padalah
seharusnya mereka membicarakan hal-hal seperti teori konsumsi atau teori
produksi. Semua kelompok tersebut tidak memahami posisi ekonomi Islam dalam
kerangka atau kategorisasi cabang ilmu pengetahuan serta tidak pula bisa
memisah-misahkan berbagai seginya seperti filosofinya, prinsip atau aksiomanya,
serta fungsi aktualnya.
3. Aliran Alternatif
Aliran ini dikenal sebagai aliran
yang kritis secara ilmiah terhadap ekonomi Islam, baik sebagai ilmu maupun
sebagai peradaban. Aliran ini mengkritik kedua aliran sebelumnya. Aliran Iqtishādunā
dikritik karena dianggap berusaha menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya
sudah ditemukan tokoh-tokoh sebelumnya, sedangkan aliran Mainstream dikritik
sebagai jiplakan ekonomi aliran Neo-Klasik dan Keynesian dengan menghilangkan
unsur riba serta memasukkan variabel zakat dan akad, sehingga tidak ada yang
orisinil dari aliran ini. Namun aliran ini tidak hanya mengkritik ekonomi Islam
saja, ekonomi konvensional pun juga telah dikritik.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Timur
Kuran, Sohrab Behdad, dan Abdullah Saeed.
a. Timur Kuran.
Ia adalah seorang dosen ekonomi di
Southern California University, USA. Pemikirannya bisa ditemukan dalam tulisan
artikel-artikelnya, yaitu; “The Economyc System in Contemporary Islamic
Thought: Interpretation and Assessment”, dalam International Journal of
Middle East Studies Volume 18 tahun 1986, dan “On The Notion of Economic
Justice in Contemporary Islamic Thought”, dalam International Journal of
Middle East Studies Volume 21 tahun 1989.
b. Sohrab Behdad.
Pemikirannya dapat ditemukan dalam
tulisan artikelnya yang berjudul “Property Rights in Contemporary Islamic
Economic Thought: A Critical Perspective” dalam jurnal Review of Social
Economy Volume 47 tahun 1989.
c. Abdullah Saeed.
Ia adalah seorang Profesor Studi
Arab-Islam di University of Melbourne, Australia. Pemikirannya bisa ditemukan
dalam tulisan artikel-artikelnya, yaitu; “Islamic Banking in Practice: A
Critical Look at The Murabaha Financing Mechanism” dalam Journal of
Arabic, Islamic & Middle Eastern Studies tahun 1993, dan “The Moral
Context of The Prohibition of Riba in Islam Revisited” dalam American
Journal of Islamic Social Science tahun 1995.
BAB
III
PENUTUP
Mursyid Al-Idrisiyyah mendefinisikan
ekonomi islam dengan menggunakan kalimat-kalimat sederhana, yaitu seluruh
bentuk kegiatan ekonomi yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam yang bersumber
kepada Al Quran dan As Sunah yang diijtihadi oleh mursyid. Kedudukan
mursyid memiliki perananan yang cukup urgen termasuk dalam memberikan curah
pemikiran mengenai konteks ekonomi islam, sesuai dengan tuntutan dan
perkembangan zaman juga mampu mensosialisasikan dan memobilisasi umat untuk
berekonomi Islami dengan uswah (teladan) dan kharismanya.
Pemikiran ekonomi Islam kontemporer
ini merupakan buah pikiran dari para ekonom Muslim pada abad ke-20 Masehi. Jika
dalam pemikiran ekonomi Islam klasik dibagi menjadi 3 fase, maka pemikiran
ekonomi Islam kontemporer ini dibagi menjadi 3 aliran, yaitu aliran Iqtishādunā,
aliran Mainstream, dan aliran Alternatif. Masing-masing dari ketiga
aliran ini memiliki corak pemikiran yang berbeda-beda.
0 Response to "MAKALAH EKONOMI ISLAM"
Post a Comment